Mipa

Mipa

Rabu, 10 November 2010

Kekerasan

Kekerasan

Beberapa minggu lalu masyarakat dikejutkan dengan berita kematian seorang mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi (PT). Kematian tersebut disebabkan oleh kekerasan yang menjadi budaya dalam konteks pendisiplinan mahasiswa. Keterkejutan masyarakat adalah hal yang wajar, karena salah satu karakter pendidikan PT ialah penghormatan terhadap budaya anti- kekerasan. Mahasiswa diajarkan bahwa kekerasan adalah musuh kemanusiaan. Karena itu pula PT lebih dikenal sebagai wadah yang memproduksi orang-orang pintar (terpelajar), yang lebih mengedepankan rasionalitas dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan.
Kedisiplinan Semu
Pada dasarnya kita dapat memaklumi bahwa kekerasan yang diterapkan itu bertujuan membangun sikap disiplin di kalangan mahasiswa. Namun, sungguhpun kekerasan itu bermotif kebaikan, kekerasan tetap saja adalah kekerasan. Penggunaan kekerasan dalam membangun kedisiplinan hanya akan melahirkan sikap disiplin yang rapuh dan semu. Kekerasan tidak akan membuat seseorang menyadari bahwa kebaikan adalah sebuah kebaikan. Alih-alih, kekerasan itu akan menciptakan lingkaran kekerasan tiada henti.
Dalam sejarah kehidupan manusia, kekerasan pertama dapat kita temukan dalam kisah Qabil dan Habil, putra-putra Nabi Adam. Sejarah menceritakan bahwa Qabil membunuh Habil. Pembunuhan itu dipicu oleh ketidak-sukaan Qabil terhadap Habil. Habil dianggap selalu mendapatkan yang lebih baik dari dirinya, baik dalam hal jodoh, pekerjaan, bahkan kasih sayang orang tua. Karena itu, pembunuhan yang dilakukan Qabil dapat ditafsirkan sebagai upaya “jalan pintas” untuk menyelesaikan persoalan (QS al-Maidah [5]: 36).
Dalam banyak kasus kekerasan di masyarakat, “jalan pintas” ini menjadi paradigma yang melekat dalam alam bawah sadar masyarakat. Seolah-olah setiap orang berpikir bahwa hanya kekerasanlah yang akan menyelesaikan permasalahan mereka. Hal ini dapat kita lihat dalam peristiwa perkelahian masal antarsiswa. Masing-masing berpikir bahwa perkelahian dapat membuat lawannya jera dan mengakui kesalahannya. Tetapi, kenyataan yang terjadi adalah keduanya sama-sama mengalami “kerusakan” dan semakin terpancing untuk melanjutkan perkelahian tersebut hingga lawannya menyatakan takluk. Jadi, kekerasan dalam perkelahian sebenarnya berangkat dari keinginan menyelesaikan persoalan. Tetapi apakah persoalan di antara mereka dapat selesai?
Kembali kepada soal itikad membangun kedisiplinan, kenyataan justru menunjukkan bahwa kedisiplinan tidak selalu dibangun dengan kekerasan. Ketegasan dan peraturan yang diterapkan secara konsisten dapat menciptakan kedisiplinan. Karena kedisiplinan berdiri di atas kebiasaan dan kesadaran tentang nilai-nilai kebaikan baik bagi masyarakat maupun individu.
Teladan Nabi
Pembinaan yang dilakukan Nabi Muhammad Saw terhadap para sahabat dapat dijadikan teladan. Betapa kedisiplinan Sahabat-sahabat Nabi mencerminkan sebuah proses pembinaan yang mengesankan. Sepanjang kehidupannya, Nabi Muhammad tidak pernah memberikan hukuman fisik, apalagi pemukulan kepada para Sahabat. Penggalan dari potret pembinaan beliau dapat kita lihat dari kebijakan yang diambil dalam merespon ketidak-taatan sebagian pasukan Islam dalam perang Uhud. Ketidaktaatan tersebut menyebabkan umat Islam mengalami kekalahan dalam perang Uhud. Namun, Nabi Muhammad tidak memberikan hukuman yang tidak manusiawi. Beliau hanya menegur dan menyadarkan mereka, betapa ketidakdisiplinan akan senantiasa melahirkan kerugian dan kerusakan bagi mereka sendiri.
Dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah berfirman, “Maka atas rahmat Allah-lah kamu (Muhammad) berlaku lemah-lembut kepada mereka (umat Islam), sekiranya engkau (Muhammad) berlaku kasar dan keras hati kepada mereka, niscaya mereka akan berpaling darimu....” Ayat tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa Islam lebih menyukai pembinaan atau pendidikan dengan cara yang santun. Pembinaan dengan kekerasan, menurut Islam, akan mengalami kegagalan. Pertama, kekerasan akan melahirkan ketaatan yang berpijak pada ketakutan. Seseorang akan menaati kebaikan sepanjang sikap tersebut akan menyelamatkannya dari ancaman pihak lain. Namun ketika ancaman tersebut sudah tidak ada, ketaatan itu pun sirna. Kedua, kekerasan tidak memberikan suatu perspektif yang berbasis pada pengalaman. Maksudnya, kesalahan biasanya akan menyadarkan seseorang, dan mendorongnya untuk tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Keputusan itu berangkat dari perspektif pengalamannya sendiri. Ia mengalami dan memahami bahwa kebaikan adalah baik dan kejahatan adalah buruk. Oleh karena itu, semakin sering seseorang melakukan kesalahan, maka ia akan semakin banyak belajar untuk menjadi lebih baik. Bukankah kita semua menjadi dewasa karena belajar dari kesalahan kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar